Fri. Mar 29th, 2024

Kegembiraan Orang yang Berpuasa

4 min read
"Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya” (Muttafaq ‘alaihi, lafazh al-Bukhari).
Kegembiraan Orang yang Berpuasa "Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya” (Muttafaq ‘alaihi, lafazh al-Bukhari). Sudah menjadi tabi'at seorang manusia ketika dia dicegah atau dihalangi dari sesuatu maka pasti dia akan merindukan sesuatu tersebut. Namun kalau seandainya seseorang tidak ditahan atau tidak dihalangi, maka tidak ada sesuatu yang nikmat dari kehidupannya di dunia ini. Ketika antum berada di ma'had (pesantren), di antara aturan pesantren yaitu tidak boleh keluar dari sana. Sehingga keluar dari pesantren ini adalah sebuah kenikmatan yang dirindukan. Namun ketika bebas, tidak ada ikatan dan peraturan, antum akan menjalani kehidupan seperti biasa, tidak pernah akan ada nikmatnya. Kegembiraan Ketika Berbuka Puasa Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ "Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu (yang pertama)kegembiraan ketika berbuka puasa.” Ketika Allah subhanahu wa ta'ala melarang kita makan dan minum dari semenjak terbitnya matahari sampai siang, sore, dan menjelang berbuka puasa. Pada saat menjelanng waktu berbuka, di situ manusia mempunyai hajat yang sangat kuat untuk makan dan minum. Di situlah, seseorang akan merasakan bagaimana nikmatnya segelas air putih yang dingin. Kalau seandainya dia tidak berpuasa, dia tidak tahu bagaimana nikmatnya segelas air putih yang dingin. Ketika dia berpuasa dia tahu bagaimana nikmatnya teh dingin. Kalau dia tidak berpuasa dia tidak akan tahu bagaimana nikmatnya teh dingin tersebut. Ini merupakan warna yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan dalam kehidupan seorang manusia. Ketika dia membutuhkan makanan yang sangat dia butuhkan pada detik tersebut, di situlah Allah subhanahu wa ta’ala memberikan izin kepada dia untuk makan dan minum, dan ini sebuah kebahagiaan tersendiri. Ketika kita merencanakan sesuatu di dalam perdagangan kita, terkadang apa yang kita rencanakan tersebut ditahan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Maka ingatlah hadits ini. Ternyata Allah subhanahu wa ta’ala belum memberikan rezeki kepada kita. Yakinlah, kalau seandainya kita ikhlas dan mengharap pahala dari itu, akan tiba suatu saat di mana, ‘engkau akan bahagia dengan apa yang telah hilang dari engkau tersebut’. Apakah di dunia akan ditampakkan, atau nantinya di akhirat. Di yaumul qiyamah, Allah subhanahu wa ta’ala akan menampakkan kepada kita, “Ya Fulan! Kalau seandainya engkau hidup dulu di dunia mendapatkan sekian miliar dari apa yang engkau usahakan, maka akan begini hidupmu. Tapi itu ditahan darimu untuk memudahkan bagimu untuk mendapatkan hisab. Tidak sulit bagimu untuk hisab hari ini”. Di situlah kita baru sadar, hendaknya bersyukur dan bahagia ketika Allah subhanahu wa ta’ala menahan rezeki yang diangan-angankan tersebut, عَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al-Baqarah: 216). Lagi pula, apa yang harus membuat kita marah dan berperasangka jelek kepada Allah? Kita dilahirkan oleh Allah dalam keadaan tidak ada satu benang pun di badan kita, وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun” (An-Nahl: 78). Jangankan untuk berjalan atau berlari, hanya sekadar untuk meminta air minum saja kita tidak mampu untuk berucap ketika kita lahir. Jangankan uang yang ada di tabungan kita sekian puluh juta, sekian ratus juta, bahkan satu benang pun tidak ada di badan kita. Siapa yang memberikan kepada kita sehingga sekarang kita punya pakaian, rumah, kendaraan, bisa berjalan, bergerak, berlari, berbicara, sudah punya anak, istri, kadang lebih dari satu istrinya, darimana semuanya ini? وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (Hud: 6). Ada rasa solidaritas yang diajarkan ketika kita berpuasa. Bagaimana senang ketika kita mendapatkan makanan dan minuman. Begitu juga saudara-saudara kita yang miskin dan fakir, terkadang mereka menahan makanan bukan dari pagi sampai sore hari, tapi mereka menahan makanan sampai tiga hari, atau bahkan berminggu-minggu atau berbulan-bulan tidak ada yang mereka makan kecuali hanya sesuatu yang didapatkan dari tempat sampah. Ini membuat kita harus lebih bersyukur dengan apa yang Allah berikan kepada kita. Ini adalah pelajaran dari puasa Ramadhan. Kegembiraan Ketika Bertemu Rabb-nya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: فَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّه “Kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya.” Allah mengatakan di dalam Al-Qur'an, وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا "Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allâh sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya”. (Al-Muzammil: 20). Apa yang kalian tahan hari ini, makan, minum, berpuasa, niat untuk taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini adalah sebuah ibadah. Maka apa yang akan kalian dapatkan jauh lebih besar dari apa yang kalian lakukan hari ini. Ini yang patut kita renungi bersama-sama. Bagaimana keagungan bulan Ramadhan. Tidaklah ada syari'at Allah melainkan di baliknya ada hikmah yang sangat besar di dalam kita menjalani sisa-sisa kehidupan kita, sebelum kita bertemu dengan Allah subhanahu wa ta’ala. (Diringkas dari kajian Ustad Harits Abu Naufal).

“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya” (Muttafaq ‘alaihi, lafazh al-Bukhari).

Sudah menjadi tabi’at seorang manusia ketika dia dicegah atau dihalangi dari sesuatu maka pasti dia akan merindukan sesuatu tersebut. Namun kalau seandainya seseorang tidak ditahan atau tidak dihalangi, maka tidak ada sesuatu yang nikmat dari kehidupannya di dunia ini.

Ketika antum berada di ma’had (pesantren), di antara aturan pesantren yaitu tidak boleh keluar dari sana. Sehingga keluar dari pesantren ini adalah sebuah kenikmatan yang dirindukan. Namun ketika bebas, tidak ada ikatan dan peraturan, antum akan menjalani kehidupan seperti biasa, tidak pernah akan ada nikmatnya.

Kegembiraan Ketika Berbuka Puasa

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ

“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu (yang pertama)kegembiraan ketika berbuka puasa.”

Ketika Allah subhanahu wa ta’ala melarang kita makan dan minum dari semenjak terbitnya matahari sampai siang, sore, dan menjelang berbuka puasa. Pada saat menjelanng waktu berbuka, di situ manusia mempunyai hajat yang sangat kuat untuk makan dan minum. Di situlah, seseorang akan merasakan bagaimana nikmatnya segelas air putih yang dingin.

Kalau seandainya dia tidak berpuasa, dia tidak tahu bagaimana nikmatnya segelas air putih yang dingin. Ketika dia berpuasa dia tahu bagaimana nikmatnya teh dingin. Kalau dia tidak berpuasa dia tidak akan tahu bagaimana nikmatnya teh dingin tersebut. Ini merupakan warna yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan dalam kehidupan seorang manusia.

Ketika dia membutuhkan makanan yang sangat dia butuhkan pada detik tersebut, di situlah Allah subhanahu wa ta’ala memberikan izin kepada dia untuk makan dan minum, dan ini sebuah kebahagiaan tersendiri.

Ketika kita merencanakan sesuatu di dalam perdagangan kita, terkadang apa yang kita rencanakan tersebut ditahan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Maka ingatlah hadits ini.

Ternyata Allah subhanahu wa ta’ala belum memberikan rezeki kepada kita. Yakinlah, kalau seandainya kita ikhlas dan mengharap pahala dari itu, akan tiba suatu saat di mana, ‘engkau akan bahagia dengan apa yang telah hilang dari engkau tersebut’. Apakah di dunia akan ditampakkan, atau nantinya di akhirat.

Di yaumul qiyamah, Allah subhanahu wa ta’ala akan menampakkan kepada kita, “Ya Fulan! Kalau seandainya engkau hidup dulu di dunia mendapatkan sekian miliar dari apa yang engkau usahakan, maka akan begini hidupmu. Tapi itu ditahan darimu untuk memudahkan bagimu untuk mendapatkan hisab. Tidak sulit bagimu untuk hisab hari ini”.

Di situlah kita baru sadar, hendaknya bersyukur dan bahagia ketika Allah subhanahu wa ta’ala menahan rezeki yang diangan-angankan tersebut,

عَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al-Baqarah: 216).

Lagi pula, apa yang harus membuat kita marah dan berperasangka jelek kepada Allah? Kita dilahirkan oleh Allah dalam keadaan tidak ada satu benang pun di badan kita,

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun” (An-Nahl: 78).

Jangankan untuk berjalan atau berlari, hanya sekadar untuk meminta air minum saja kita tidak mampu untuk berucap ketika kita lahir. Jangankan uang yang ada di tabungan kita sekian puluh juta, sekian ratus juta, bahkan satu benang pun tidak ada di badan kita. Siapa yang memberikan kepada kita sehingga sekarang kita punya pakaian, rumah, kendaraan, bisa berjalan, bergerak, berlari, berbicara, sudah punya anak, istri, kadang lebih dari satu istrinya, darimana semuanya ini?

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (Hud: 6).

Ada rasa solidaritas yang diajarkan ketika kita berpuasa. Bagaimana senang ketika kita mendapatkan makanan dan minuman. Begitu juga saudara-saudara kita yang miskin dan fakir, terkadang mereka menahan makanan bukan dari pagi sampai sore hari, tapi mereka menahan makanan sampai tiga hari, atau bahkan berminggu-minggu atau berbulan-bulan tidak ada yang mereka makan kecuali hanya sesuatu yang didapatkan dari tempat sampah. Ini membuat kita harus lebih bersyukur dengan apa yang Allah berikan kepada kita. Ini adalah pelajaran dari puasa Ramadhan.

Kegembiraan Ketika Bertemu Rabb-nya

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan:

فَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّه

“Kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya.”

Allah mengatakan di dalam Al-Qur’an,

وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا

“Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allâh sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya”. (Al-Muzammil: 20).

Apa yang kalian tahan hari ini, makan, minum, berpuasa, niat untuk taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini adalah sebuah ibadah. Maka apa yang akan kalian dapatkan jauh lebih besar dari apa yang kalian lakukan hari ini.

Ini yang patut kita renungi bersama-sama. Bagaimana keagungan bulan Ramadhan. Tidaklah ada syari’at Allah melainkan di baliknya ada hikmah yang sangat besar di dalam kita menjalani sisa-sisa kehidupan kita, sebelum kita bertemu dengan Allah subhanahu wa ta’ala.

(Diringkas dari kajian Ustadz Harits Abu Naufal oleh Tim Syiar Tauhid Aceh).

Baca juga:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *