Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal
4 min readImam Ahmad bin Hanbal lahir, sebagaimana yang terkenal dan diketahui, pada bulan Rabiul Awal tahun 164 Hijriah di Baghdad. Ibunya mengandungnya saat masih berada di Marw, tempat ayahnya berada. Ayahnya berasal dari suku Syaiban, demikian pula ibunya. Jadi, ia bukanlah orang asing atau keturunan campuran, melainkan orang Arab asli. Asal keluarganya adalah dari Basra, dan kakeknya pernah menjadi gubernur di Sarakhs. Ketika dakwah Abbasiyah muncul, kakeknya turut mendukungnya, dan akhirnya ia terbunuh karenanya. Ayahnya adalah seorang prajurit pemimpin yang meninggal saat Imam Ahmad masih kecil.
Imam Ahmad memiliki lima faktor yang jarang dimiliki seseorang sekaligus, yang mengantarkannya menuju kemuliaan, ketinggian jiwa, dan jauh dari hal-hal rendah menuju yang luhur, yaitu: kehormatan nasab dan keturunan, yatim sejak dini sehingga ia tumbuh mandiri, keadaan ekonomi yang tidak miskin papa namun cukup, tidak membuatnya lupa diri, tidak pula menghancurkan harga dirinya, serta dengan tambahan sifat puas, kesederhanaan, dan kecenderungan pada ketinggian intelektual dengan ketakwaan kepada Allah. Semua ini berpadu dengan kecerdasan dan kecemerlangan pemikiran.
Imam Ahmad tumbuh besar di Baghdad, dan di sana ia mendapatkan pendidikan dasarnya. Baghdad pada masa itu adalah pusat pertemuan berbagai orang dengan tujuan dan latar belakang berbeda, dipenuhi berbagai jenis ilmu pengetahuan dan seni. Di sana terdapat para qari (pembaca Al-Qur’an), ahli hadis, ahli tasawuf, ulama bahasa, dan para filsuf. Baghdad menjadi pusat dunia Islam. Pada awal hidupnya, ia belajar fikih dari ahli ra’yu (pendapat) melalui bimbingan Abu Yusuf, murid Abu Hanifah. Lalu ia beralih ke ilmu hadis, dan ketika ia memutuskan di masa mudanya untuk belajar hadis, ia mengambil dari seluruh ahli hadis di Irak, Syam, dan Hijaz. Mungkin ia adalah muhaddits pertama yang mengumpulkan hadis dari seluruh wilayah, dan mencatatnya dalam Musnadnya, yang berisi hadis-hadis dari Hijaz, Syam, Basra, dan Kufah.
Pada awal belajarnya, Imam Ahmad berguru pada seorang imam hadis di Baghdad selama sekitar empat tahun, hingga usianya mencapai dua puluh tahun. Guru itu adalah Hushaym bin Bashir al-Wasiti (w. 183 H). Pada tahun 186 H, ia mulai melakukan perjalanan menuntut ilmu hadis, pergi ke Basra, Hijaz, Yaman, dan Kufah. Ia berkeinginan pergi ke Ray untuk mendengar dari Jarir bin Abdul Hamid, namun ia mengurungkan niatnya karena biaya yang besar. Imam Ahmad pergi ke Hijaz lima kali, pertama kali pada tahun 187 H, dan pada perjalanan ini ia bertemu Imam Syafi’i, serta belajar dari hadis Ibnu Uyainah, fikih, dan ushul Imam Syafi’i, termasuk pemahaman tentang naskh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Setelah itu, ia bertemu Imam Syafi’i lagi di Baghdad.
Imam Ahmad berhaji lima kali, tiga kali di antaranya berjalan kaki. Dalam salah satu perjalanan, ia tersesat dari rombongan. Ia menyukai kesulitan dalam perjalanan ibadah dan mencari hadis. Pada tahun 198 H, ia dan sahabatnya Yahya bin Ma’in berniat pergi haji dan setelah itu menuju Abdul Razzaq bin Hammam di Yaman. Ketika mereka melakukan thawaf qudum, tiba-tiba bertemu Abdul Razzaq. Yahya yang mengenalnya, memberi salam dan memperkenalkan Imam Ahmad. Abdul Razzaq memuji Imam Ahmad dan menyarankan bertemu keesokan harinya. Namun, Imam Ahmad tidak menyukai jadwal mendadak itu dan tetap bersikeras pergi ke Yaman setelah haji.
Ia terus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu hadis dan menyebarkannya hingga mencapai derajat keimaman. Bahkan, seorang sezamannya melihatnya masih menulis hadis di usia tuanya. Ketika ditanya, ia menjawab bahwa ia akan terus belajar sampai ajal menjemputnya. Ia dikenal sebagai orang yang meyakini bahwa seseorang masih terus belajar selama ia hidup, dan ketika ia merasa sudah tahu segalanya, justru itulah tanda kebodohannya.
Selain hadis, Imam Ahmad juga mempelajari fikih dan istinbath (metode pengambilan hukum) dari Imam Syafi’i dan lainnya. Bahkan, menurut beberapa sumber, ia pernah menghafal buku-buku ahli ra’yu namun tidak mengamalkannya. Dikatakan oleh muridnya al-Khallal, “Imam Ahmad telah menulis dan menghafal buku-buku ra’yu, tetapi kemudian meninggalkannya.” Imam Ahmad mulai mengajar hadis dan memberikan fatwa setelah usia empat puluh tahun, dan namanya telah tersebar luas. Banyak orang menghadiri majelisnya, dan disebutkan sekitar lima ribu orang hadir di majelisnya, dengan lima ratus di antaranya menulis sementara sisanya belajar dari akhlak dan perilakunya. Majelisnya setelah Ashar dipenuhi rasa hormat dan keagungan terhadap hadis Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Imam Ahmad menghadapi cobaan berat karena tuntutan khalifah al-Ma’mun yang memaksa para fuqaha dan muhaddits untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Ia dipenjara dan disiksa oleh tiga khalifah berturut-turut: al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Wathiq. Ia dikenal sebagai sosok yang sabar, kuat, dan tegar. Dalam situasi terancam hukuman mati, ia masih bertanya tentang pendapat Imam Syafi’i mengenai hukum mengusap khuf, menunjukkan keteguhan dan keimanan mendalam.
Imam Ahmad wafat pada pagi hari Jumat, dua belas hari berlalu dari bulan Rabiul Awal tahun 241 Hijriah di Baghdad.
REFERENSI :
https://www.google.com/amp/s/islamqa.info/amp/ar/answers/153333