Thu. Apr 18th, 2024

Sikap Berlebihan terhadap Orang Saleh

5 min read
Sikap Berlebihan terhadap Orang Saleh

Di dalam Kitab Tauhid karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pada bab tentang sebab kufurnya bani Adam dan sebab mereka meninggalkan agama mereka dikarenakan sikap berlebih-lebihan kepada orang-orang saleh, disebutkan bahwasanya manusia dalam menyikapi orang saleh terbagi menjadi tiga.

Ada yang berlebih-lebihan sebagaimana orang-orang Nashara, ada pula di antara mereka yang merendahkan orang-orang saleh seperti perangainya Yahudi, dan yang ketiga adalah mukminin dan muslimin, umatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang memuliakan dan menghargai orang-orang saleh namun tidaklah bentuk pemuliaan mereka kepada orang saleh sampai mengangkat mereka dari kedudukan yang sepantasnya.

Nabi telah menyebutkan dalam hadisnya,

أَنْزِلُوْا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ

“Tempatkan manusia pada posisi mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4842, dari hadis Aisyah)

Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang dakwah Nabi Ibrahim,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ ٠ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku’.” (QS. az-Zukhruf [43]: 26-27)

Nabi Ibrahim mengajak kaumnya untuk hanya beribadah kepada Allah dan meninggalkan sesembahan yang disembah selain Allah. Namun sikap mereka terhadap seruan itu adalah sebagaimana Allah sebutkan dalam Alquran,

قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ

“Mereka berkata, ‘Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak’.” (QS. al-Anbiya [21]: 68)

Begitu juga ketika Nabi kita Muhammad membaca ayat,

مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ ۖ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ ۗ

“Al-Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa Rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.” (QS. al-Ma’idah [5]: 75)

Kaum musyrikin Quraisy mengadu kepada Raja Najasyi, untuk berhati-hati dengan Nabi Muhammad. Mereka menuduh bahwa Nabi telah mencela agama Nasrani, mencela tuhan mereka dan orang saleh di kalangan mereka. Padahal tidak demikian.

Nabi Isa alaihis salam adalah makhluk dari makhluk-makhluk Allah, ibunya pun demikian, sehingga keduanya butuh makanan, sedangkan Tuhan tidak membutuhkan makanan. Nabi Isa seharusnya bukanlah sebagai sesuatu yang disembah selain Allah, karena ia adalah Nabi dan Rasul.

Begitu pula dengan Nabi Nuh alaihis salam, ketika beliau mengingkari perbuatan kaumnya yang menyembah kepada Wadd, Suwa’, Yagus, Ya’uq, dan Nasra. Berkata kaumnya,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr’.” (QS. Nuh [71]: 23)

Wadd, Suwa’, Yagus, Ya’uq, dan Nasra, disebutkan oleh al-Imam Bukhari dalam Shahih-nya, beliau membawa ucapan Abdullah bin Abbas radhiallahu ta’ala ‘anhu tentang makna dan tafsir ayat ini, “Lima orang yang disebutkan di dalam ayat ini adalah nama-nama laki-laki saleh dari kaum Nabi Nuh. Dan ketika mereka wafat, setan membisikkan kaum orang saleh tersebut agar membuat lukisan-lukisan dan patung-patung orang-orang saleh tersebut di tempat-tempat yang mereka dulu duduk dan menulis nama-nama mereka. Kemudian mereka melakukannya.”

Disebutkan oleh al-Imam Qurthubi rahimahullah di dalam tafsir beliau, beliau menukilkan ucapan Muhammad bin Ka’ab,

“Nama-nama orang saleh ini termasuk dari anak-anaknya Nabi Adam ‘alaihis salam, mereka dulunya adalah ahli ibadah, saleh dan menjadi panutan umat. Kemudian wafat salah satu di antara mereka, kemudian mereka bersedih. Kemudian setan datang dengan berkata, ‘Saya akan membuat gambar mereka kepada kalian. Ketika kalian melihatnya kalian akan mengenang jasa dan semangat mereka di dalam beribadah sehingga memacu kalian dalam beribadah, dan supaya kalian juga ketika melihat lukisan dan patung tersebut bisa mengenang bagaimana luasnya ilmu mereka, dan mengenang sebagai bentuk kecintaan kepada mereka.’ Lalu kemudian dibuatlah gambar tersebut oleh mereka, setiap ada yang meninggal dibuat gambarnya. Kemudian diletakkan gambar tersebut di tempat-tempat yang mereka sering berkumpul, kemudian setan membisikkan mereka bahwasanya nenek moyang mereka dulunya menyembah sesembahan yang disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala, maka disembahlah yang lain selain Allah subhanahu wa ta’ala.”

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Aisyah radhiallahu ta’ala ‘anha,

لَمَّا اشْتَكَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَتْ بَعْضُ نِسَائِهِ كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ يُقَالُ لَهَا مَارِيَةُ وَكَانَتْ أُمُّ سَلَمَةَ وَأُمُّ حَبِيبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَتَتَا أَرْضَ الْحَبَشَةِ فَذَكَرَتَا مِنْ حُسْنِهَا وَتَصَاوِيرَ فِيهَا فَرَفَعَ رَأْسَهُ

“Ketika Nabi shalallahu alaihi wasallam sedang berbaring sakit, sebagian isteri-isteri Beliau menceritakan tentang suatu gereja yang mereka lihat di negeri Habasyah (Ethiopia) yang disebut dengan Mariyah. Sebelumnya Ummu Salamah dan Ummu Habibah radliallahu ‘anhuma pernah berhijrah ke negeri Habasyah, sehingga keduanya dapat menceritakan tentang keindahan gereja tersebut dan adanya gambar (patung-patung) didalamnya.” (HR. Bukhari no. 1255)

Tanggapan Rasul ketika istri beliau menceritakan adanya gambar-gambar di tempat ibadah umat Nashrani adalah,

أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ثُمَّ صَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّورَةَ أُولَئِكِ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka itulah, yang apabila ada hamba saleh atau laki-laki saleh di antara mereka yang meninggal dunia, mereka bangun masjid di atas kuburannya itu dan membuatkan patung dari orang yang meninggal itu di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah”. (HR. Bukhari no. 1255)

Berkaitan dengan menjadikan kuburan sebagai masjid ada beberapa hal yang disebutkan oleh para ulama. Bisa makna secara bahasa, yaitu ada kuburan, kemudian ada masjid di situ dan dilakukan ibadah salat dan lainnya di sana. Atau seseorang melakukan ibadah, yang seharusnya ibadah tersebut dilakukan di masjid, akan tetapi ia lakukan di kuburan. Apa yang disebutkan kemudian ialah yang dipahami oleh amirul mukminin, Umar bin Khaththab radhiallah ta’ala ‘anhu.

Umar bin Khaththab pernah pada suatu hari melihat Anas bin Malik salat di samping kuburan, dan Anas tidak mengetahui bahwa di tempat itu terdapat kuburan. Kemudian Umar berkata, “Ya Anas! di situ ada kuburan, di situ ada kuburan!” Anas berpikir Umar mengatakan “al-qamar, al-qamar! (bulan)”. Lantas Anas melihat ke atas.

Selesai salat, Anas langsung mendapat teguran dari Umar bin Khaththab, “Wahai Anas! Tidakkah engkau mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang kita menjadikan kuburan sebagai masjid?”.

Namun demikian, biasanya akan ada yang cepat tersinggung jika disebutkan permasalahan ini. Tetapi hal itu tidaklah dapat dijadikan alasan untuk tidak membahasnya. Karena apabila perkara yang keliru tidak boleh diluruskan, perkara yang salah tidak boleh dibenarkan, kita takut terkena laknat dari Allah. Allah berfirman,

لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن بَنِي إِسرَٰءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبنِ مَريَمَ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعتَدُونَ. كَانُواْ لَا يَتَنَاهَونَ عَن مُّنكَر فَعَلُوهُ لَبِئسَ مَا كَانُواْ يَفعَلُونَ

“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. al-Maidah [5]: 78-79).

Rasul bersabda,

مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barang siapa yang melihat kemungkaran maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya dan apabila ia tidak mampu maka dengan lidahnya dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. an-Nasa’i no. 4922)

Sebagai penutup, Imam Ahmad berkata,

إذا سكتَّ أنت، وسكتُّ أنا، فمتى يعرف الجاهل الصحيح من السَّقيم

“Kalau engkau diam, dan aku diam, lantas kapan orang yang tidak tahu bisa membedakan yang shahih dan yang tidak?”.

 

(Diringkas dari Kajian Ustadz Harits Abu Naufal)


Lihat faedah ilmiah lainnya:

Bantu Dakwah Melalui Radio Syiar Tauhid Aceh

Donasi: BNI Syariah (Kode 009)
No. Rekening 49.71.80.00.04
(An. Yayasan Syiar Tauhid Banda Aceh)
Konfirmasi: 082360005322

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *