Thu. Dec 5th, 2024

Mujaddid ke 2 Imam Asy Syafi’i

3 min read

Mayoritas riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di Gaza, Syam. Pendapat ini disepakati oleh mayoritas ahli sejarah ahli fiqh. Namun, ada riwayat lain yang menyatakan bahwa beliau lahir di Asqalan, yang berjarak tiga farsakh dari Gaza.

Nasabnya adalah sebagai berikut: Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdu Manaf. Dengan demikian, nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ pada Abdu Manaf.

Imam Syafi’i hidup dalam keadaan yatim dan miskin. Beliau hafal Al-Qur’an di usia muda, menunjukkan kecerdasan luar biasa dengan cepat menghafalnya. Setelah itu, beliau mulai menghafal hadits Rasulullah ﷺ dengan penuh perhatian, mencatat hadits di pecahan keramik atau kulit, dan bahkan menggunakan punggung kertas di kantor pemerintahan untuk menulisnya.

Beliau pernah tinggal di padang pasir bersama kabilah Hudzail, yang dikenal sebagai suku paling fasih berbahasa Arab. Imam Syafi’i mempelajari bahasa dan adat mereka hingga menguasai syair dan kisah-kisah mereka. Al-Ashma’i, seorang pakar bahasa, pernah berkata, “Saya memperbaiki syair Hudzail berdasarkan seorang pemuda Quraisy bernama Muhammad bin Idris.”

Beliau memulai menuntut ilmu di Mekah dari para ulama di sana, hingga Muslim bin Khalid az-Zanji mengizinkannya untuk berfatwa, seraya berkata, “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, telah tiba waktumu untuk berfatwa.”

Ketika mendengar tentang Imam Malik, yang keilmuannya telah tersebar luas, Imam Syafi’i bertekad untuk belajar darinya di Madinah. Sebelum berangkat, beliau meminjam kitab Al-Muwaththa’ dan menghafalnya.

Saat bertemu Imam Malik, beliau membawa surat rekomendasi dari Gubernur Mekah. Imam Malik, yang memiliki firasat tajam, berkata kepadanya, “Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah maksiat, karena engkau akan memiliki masa depan besar. Allah telah memberi cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan cahaya itu dengan maksiat.”

Imam Syafi’i membaca kitab Al-Muwaththa’ di hadapan Imam Malik dengan lancar dalam waktu singkat.

Setelah Imam Malik wafat, Imam Syafi’i mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Pada masa itu, Gubernur Yaman menawarkan pekerjaan kepada beliau. Ibunya sampai menggadaikan rumah untuk membiayai perjalanan tersebut.

Imam Syafi’i menjadi pemimpin di Najran dan dikenal sebagai pemimpin yang adil. Namun, beliau dituduh berafiliasi dengan kelompok Alawiyah dan dipanggil ke Baghdad oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Beliau selamat dari hukuman mati berkat argumen yang kuat dan kesaksian Muhammad bin al-Hasan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 184 H, ketika beliau berusia 34 tahun.

Setelah peristiwa itu, Imam Syafi’i memusatkan perhatian pada ilmu dan belajar dari Muhammad bin al-Hasan, seorang murid Imam Abu Hanifah, sehingga beliau menguasai ilmu ahlul ra’yi (pendapat) dan ahlul hadits. Beliau menyusun dasar-dasar ilmu fiqh, hingga diakui oleh para ulama dari berbagai mazhab.

Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad dan menulis kitab Ar-Risalah, yang menjadi fondasi ilmu ushul fiqh.

Imam Syafi’i kemudian pindah ke Mesir. Sebelum pergi, beliau melantunkan syair:

لَقَدِ أصبحَتْ نَفْسِي تَتُوقُ إِلَى مِصْرَ

وَمِنْ دُونِهَا أَرْضُ المَهَامِهِ وَالقَفْرِ

فَوَاللهِ مَا أَدْرِي أَلِلْمَالِ وَالغِنَى

أُسَاقُ إِلَيْهَا أَمْ أُسَاقُ إِلَى قَبْرِي

Jiwaku rindu kepada Mesir,

meskipun di antaranya terdapat padang pasir dan keheningan,

Demi Allah, aku tidak tahu apakah aku pergi ke sana untuk harta dan kekayaan,

atau aku digiring menuju kuburku.

Di Mesir, Imam Syafi’i meraih kedudukan tinggi dan juga wafat di sana pada akhir bulan Rajab tahun 204 H dalam usia 54 tahun.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Imam Syafi’i seperti matahari bagi dunia dan kesehatan bagi tubuh. Apakah ada pengganti bagi keduanya?”

REFERENSI : https://www.google.com/amp/s/islamqa.info/amp/ar/answers/153652

[Dengan sedikit perubahan]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *